Djakarta Lloyd
Sejarah
Djakarta Lloyd didirikan di Tegal pada tanggal 18 Agustus 1950 oleh beberapa anggota
TNI Angkatan Laut yang bercita-cita mendirikan suatu perusahaan pelayaran samudera.
Armada
Pada awalnya Djakarta Lloyd memiliki 2 kapal uap yaitu SS Jakarta Raya dan SS
Djatinegara. Kini Djakarta Lloyd melayani jalur samudera dan antar pulau dalam negeri dan
memiliki 14 kapal yang terdiri dari :
a. 2 kapal container type Palwo Buwono 1600 : Bobot mati : 23 600 DWT (Deadweight
tonnage atau “Tonase bobot mati”) Kapasitas muatan : 1600 TEU (Twenty-foot
equivalent unit) Tahun pembuatan : 2001
b. 3 kapal container type Palwo Buwono 400 : Bobot mati : 5 700 DWT Kapasitas muatan :
400 TEU Tahun pembuatan : 2000
c. 9 kapal type Caraka Jaya Niaga III : Bobot mati : 4 180 DWT Kapasitas muatan : 208
TEU Tahun pembuatan : 1997-1998.
Daerah Operasional
Perusahaan memiliki 15 (lima belas) kantor cabang yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia, yaitu Tanjung Priok, Bandung, Surabaya, Medan/ Belawan, Padang, Panjang/
Lampung, Manado/ Bitung, Semarang, Banyuwangi, Bali/ Benoa, Makassar, Tarakan, Batam,
Cigading/ Cilegon, Banjarmasin. 5 (lima ) kantor Perwakilan Luar Negeri yaitu di Tokyo
Jepang, Singapura dan Sidney Australia , Hamburg Jerman dan New York AS. Namun saat ini,
umumnya kantor cabang, kantor Perwakilan luar negeri dan kator keagenan sudah tidak
beroperasi lagi dan hanya 5 (lima) cabang yang masih beroperasi aktif dan mampu membiayai
dirinya sendiri. Cabang-cabang tersebut yaitu, kantor cabang Tanjung Priok, Surabaya, Manado
(Bitung), Banyuwangi, dan Bali (Benoa). Cabang-cabang tersebut pada umumnya mendukung
kegiatan usaha perusahaan di bidang keagenan.Saat ini Djakarta Lloyd memiliki 13 kantor
cabang dan 3 kantor sub cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kantor Cabang :
1. Tanjung Priok
2. Bandung
3. Semarang
4. Banyuwangi
5. Benoa
6. Tarakan
7. Makassar
8. Bitung
9. Panjang
10. Padang
11. Belawan
12. Batam
Kantor Sub Cabang :
1. Cigading
2. Cirebon
3. Banjarmasin
Keadaan saat ini
Sejak Februari 2011 Djakarta Lloyd tak lagi mendapat penghasilan karena armada kapal
yang rusak dan sebagian disita pengadilan. November 2011 kondisi perusahaan dinyatakan
sangat memprihatinkan. Manajemen mengatakan 5 kapal tipe Palwo Buwono dan 1 kapal tipe
Caraka rusak dan perlu biaya perbaikan, sedangkan 3 kapal tipe Caraka lainnya disita Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan menunggu proses lelang. Selain itu, 5 kapal tipe Caraka lainnya sudah
dilelang di Singapura dan sebagian diambil alih PT PANN.
Maret 2012, Djakarta Lloyd masih belum membayar gaji karyawannya selama 14 bulan
yang nilainya mencapai Rp 36 miliar. Direktur utama Djakarta Lloyd Syahril Japarin sempat
menjelaskan bahwa sejak 1997 Djakarta Lloyd sudah mencatatkan rugi. Saat ini kerugian
ditaksir mencapai Rp 1,2 triliun dan sudah diambang kebangkrutan.
April 2012, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengatakan bahwa
Djakarta Lloyd sudah tak bisa diselamatkan karena “sudah luar biasa parahnya”.
Desember 2012, Pupuk Indonesia dikabarkan akan mengakuisi Djakarta Lloyd sebagai
armada untuk mendistiribusikan pupuk ke seluruh Indonesia
Djakarta Lloyd menjadi BUMN
Pada tahun 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 1961 status
Perusahaan berubah menjadi Perusahaan Negara dengan nama PN Djakarta Lloyd dan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No : 20 Tahun 1974 tanggal 22 April
1974 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara “Djakarta Lloyd” menjadi Perusahaan
(Persero).
Bisnis
Perusahaan yang telah berusia 65 tahun ini mencatatkan laba bersih sekitar Rp9,7 miliar
per September 2015. Pencapaian yang sudah dilakukan perusahaan adalah penandatanganan
berbagai kerja sama dengan perusahaan dalam negeri. Salah satunya adalah kerja sama dengan
PT PLN (Persero) dalam distribusi batu bara di wilayah Sumatera. Selain itu Djakarta Lloyd juga
bekerja sama dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Persero) dalam membangun platform
logistik dan supply chain berbasis cloud untuk National Logistics Service Provider.
PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) resmi membeli sebagian aset yang dimiliki PT
Djakarta Lloyd (Persero) di Banyuwangi antara lain bangunan gudang dan bangunan kantor,
sekaligus sarana dan prasarana lainnya yang berada di wilayah Kalipuro. Selain itu juga
bangunan rumah dinas, tanah, gedung olahraga yang berada di wilayah Kelurahan Singotrunan,
Banyuwangi.
Catatan
1. http://www.djakartalloyd.co.id/manajemen.htm
2. http://www.djakartalloyd.co.id/branch.htm
3. Evana Dewi, “Djakarta Lloyd Tak Sanggup Lagi Beroperasi”, http://www.tempo.co, 24
November 2011
4. Feby Dwi Sutianto, “Gaji Karyawan Djakarta Lloyd Belum Dibayar, Dahlan Iskan Minta
Direksi Mikir”, detikfinance, 13 Maret 2012
5. Sundari, “Dahlan Iskan: Djakarta Lloyd Tak Bisa Diselamatkan”, http://www.tempo.co, 19
April 2012
6. http://www.antaranews.com/berita/347676/djakarta-lloyd-jadi-anak-usaha-pupukindonesia
7. http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/11/13/190497/nyaris-kolaps-djakarta-lloyddiklaim-
jadi-bintang-baru-
8. http://industri.bisnis.com/read/20150428/98/427669/pelindo-iii-beli-sebagian-asetdjakarta-
lloyd-di-banyuwangi
1. Kilasan Artikel perubahan mengenai PT. Lloyd
Ini cerita tahun 70-an, kala itu perusahaan Negara, BUMN, PT Djakarta Lloyd memiliki
sejumlah kapal-kapal era tahun 60-an. Kapal-kapal ini berlayar ke Eropa dan Amerika
mengangkut barang – barang ekspor dan impor Indonesia. Saat itu, menjadi pelaut di Djakarta
Lloyd sangat membanggakan. Bahkan ada cukup banyak orang ternama bekerja di perusahaan
ini, termasuk BoB Sadino yang pernah jadi kepala cabang di Jerman – kalau tidak salah. Seorang
diplomat juga pernah bercerita kantor cabang perusahaan di Australia jauh lebih mewah dan
hebat dibandingkan kantor konsulat jenderal RI.
Kemudian ada cerita tahun 80-an, kala itu kapal-kapal yang dipandang tua di jual sebagai
besi tua. Kapal-kapal ini diganti dengan kapal-kapal baru. Kapal-kapal baru ini beberapa dibuat
di Jepang dan beberapa yang lain dibuat di Jerman. Saat itu, Djakarta Lloyd merupakan
perusahaan pelayaran yang menggunakan kapal-kapal paling modern, termasuk kapal barang full
container atau semi – container. Cerita tahun 90-an, perusahaan mulai menurun. Saat ini makin
banyak pesaing dan pemerintah mengambil kebijakan open sea, dimana kapal-kapal asing boleh
masuk bebas mengangkut barang ekspor – impor Indonesia. Djakarta Lloyd kalah dalam tariff,
apalagi kapal-kapal asing ini termasuk kapal-kapal yang bekerja keliling dunia dan mengangkut
barang apa saja dengan tujuan mana saja tanpa rute. Sampai hari ini sebagian besar bisnis
pelayaran di Indonesia masih dikuasai asing.
Kemunduran perusahaan makin terasa di era tahun 2000-an. Tanpa kapal baru yang biaya
operasinya kompetitif dan hanya mengandalkan kapal-kapal tua, perusahaan berjalan terseokseok.
Kejayaan Djakarta Lloyd memudar dan tinggal kenangan. Ketika masa jaya perusahaan
pernah melahirkan band nasional ternama Dloyd, yang lagu-lagunya pernah hit dan melegenda.
Tahun 2012, Djakarta Lloyd dilelang. Tentu saja setelah dinyatakan bangkrut. Tidak diketahui
ada sisa berapa kapal yang masih dimilikinya dan berapa besar nilai asetnya. Tapi ada sedikit
rasa kehilangan. Ada cukup banyak ahli-ahli mesin kapal lahir di perusahaan ini, termasuk
almarhum ayah saya. Mereka sangat disegani di dalam dan luar negeri, bahkan nama mereka
dikenal di galangan kapal Jerman. Sayang, tapi salah urus dan korupsi telah menghancurkan
Djakarta Lloyd, yang mungkin nanti hanya akan jadi catatan kaki saja dari sejarah kelautan
Indonesia. http://www.kompasiana.com/anthonyleonardopatty/pt-djakarta-lloyd-pernah-berjaya_5517ac55a333115307b65f9c
2. Kilasan Artikel perubahan mengenai PT. Lloyd
Akhirnya Menteri BUMN, Dahlan Iskan sampai pada topik yang paling sulit, yaitu
polemik terhadap PT Djakarta Lloyd (Persero). Sudah lama beredar kabar kurang menyenangkan
perihal BUMN yang melayani jasa angkutan pelayaran. Tahun lalu saja, pemerintah terpaksa
harus menebus biaya penahanan kapal angkutnya di Singapura yang sudah terbengkalai hingga
bertahun-tahun lamanya. Kini Djakarta Lloyd harus dihadapkan pada kenyataan pahit untuk
dibangkrutkan.
Sejarah Panjang Pelayaran Nasional
Angkutan pelayaran merupakan usaha jasa yang memberikan angkutan barang ataupun
peti kemas untuk melintasi laut maupun samudera. Jasa angkutan memiliki sejarah yang cukup
panjang, sejak pertama kali manusia memanfaatkan fungsi kapal angkutan samudera. Vasco da
Gama misalnya bukan semata seorang petualang, akan tetapi merangkap pula pemimpin
ekspedisi angkutan bagi kerajaan Spanyol. Di Indonesia sendiri, jasa angkutan dan pelayaran
dipegang oleh kongsi-kongsi perdagangan milik Hindia Belanda. Pelayanan mereka mengangkut
hasil bumi dari Nusantara untuk didistribusikan atau diperdagangkan di pusat-pusat perdagangan
di Asia maupun Eropa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, negara tersebut
belum pula memiliki perusahaan jasa pengangkutan dan pelayaran. Baru pada tanggal 18
Agustus 1950 dibentuklah perusahaan jasa pelayaran oleh para pejuang TNI-AL di Tegal yang
diberi nama “Djakarta Lloyd”. Pembentukan nama itu sendiri sebenarnya menyesuaikan fakta
sejarah apabila perusahaan angkutan laut dan samudera tersebut hasil pengambilalihan dari
perusahaan angkutan samudera yang ditinggalkan oleh Belanda. Dalam hal ini, dipilihnya Tegal
sebagai tempat kelahiran nama “Jakarta Lloyd” tidak terlepas dari peran daerah tersebut yang
menjadi simbol kemaritiman di Nusantara.
Di masa awal pengoperasian perusahaan belum terdapat sumberdaya manusia yang
memadai untuk menjalankan kapal-kapal angkut. Sekolah pelayaran nasional pun belum pula
terbentuk dan baru terbentuk akademinya pada tahun 1957. Pada akhirnya, armada “Djakarta
Lloyd” kemudian dioperasikan oleh para pelaut TNI-AL hingga selama masa beberapa tahun
kemudian. Para awak TNI-AL tersebut mengoperasikan 2 buah kapal uang, yaitu SS Djakarta
Raya dan SS Djatinegara. Dari dua kapal angkut tersebut diharapkan akan mampu mewujudkan
operasi pelayaran global yang melintasi samudera. Djakarta Lloyd sendiri berstatus perusahaan
milik negara atau BUMN yang masih memberikan pelayanan hingga tulisan ini diturunkan.
Petaka demi Petaka Menghampiri
Memasuki era rezim Orde Baru memberikan babak baru sejarah perjalanan PT Djakarta
Lloyd (Persero). Dengan dikuasainya jalur angkutan laut domestik, perusahaan negara ini
termasuk yang cukup menguntungkan. Istilah lain menyebutkannya sebagai „lahan basah‟ untuk
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengingat perannya yang cukup strategis, nama
DL sempat menempati jajaran nama perusahaan kelas dunia.Gaya hidup mewah pun mulai
terlihat di jajaran pegawai/staf maupun jajaran manajemen perusahaan. Jumlah kapal angkutan
yang dengan tonase yang lebih besar pun semakin cepat bertambah guna melayani kebutuhan
jasa pengangkutan laut maupun lintas samudera.
Praktik KKN memasuki di hampir semua lini pengelolaan perusahaan, termasuk pula
pengaturan rekanan bisnis dengan DL. Begitu banyaknya intervensi ke dalam manajemen
perusahaan menyebabkan DL hanya menjadi „sapi perahan‟ bagi kalangan pejabat. Kiprahnya
terus merosot ketika memasuki dekade 1980an. Nama „Djakarta Lloyd‟ mulai menghilang
seiring dengan semakin ketatnya persaingan jasa angkutan lintas samudera dan laut. Perusahaan
milik negara ini yang semula memberikan kontribusi besar bagi APBN kemudian berangsurangsur
mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Kondisi keuangan perusahaan sebenarnya
sudah bisa dikatakan memburuk sejak masa dekade 1990an.
Di era 1990an, PT Djakarta Lloyd (Persero) tidak lagi mendominasi jalur angkutan laut di
dalam negeri. Ironisnya, tidak sedikit jasa angkutan laut milik asing yang justru paling banyak
mendominasi untuk jalur transportasi angkutan laut di dalam negeri. Di pentas pelayaran global,
DL sendiri mulai tersingkir dari persaingan nama-nama besar perusahaan jasa angkutan lintas
samudera, bahkan kalah bersaing dengan jasa angkutan lintas samudera dari Singapura. Kita tahu
sendiri, bahwa Singapura hanyalan negara kecil yang sama sekali tidak memiliki laut.
Petaka yang cukup memalukan ketika 2 buah kapal milik DL ditahan di Singapura pada
tahun 2009, yaitu KM Pontianak (14 awak kapal) di bulan Juli 2009 dan KM Makassar (15 awak
kapal) di bulan Februari 2009. Ironisnya, pihak pemerintah baru mengetahui kabar tersebut pada
bulan Oktober 2010 lalu. Para awak kapal yang ditahan tersebut tidak diperbolehkan turun kapal
hingga tuntutan tebusan oleh pihak pengadilan Singapura. Kasus penahanan ini berawal dari
kasus utang DL kepada Australia National Lines (ANL) sebesar 3,3 juta USD. Gugatan
dilakukan oleh pihak ANL ke pengadilan di Singapura.
Pergantian Menteri BUMN dari Mustafa Abubakar ke Dahlan Iskan memberikan nuansa
baru bagi pengelolaan BUMN. Sekalipun pencitraannya mampu meraih simpati dari sebagian
masyarakat, akan tetapi Dahlan Iskan tetaplah bagian dari sistem pemerintahan. Menteri BUMN
Dahlan Iskan ternyata berupaya untuk merampingkan BUMN dengan menghilangkan atau
menutup beberapa BUMN yang dianggap tidak dapat diselamatkan lagi. PT Djakarta Lloyd
(Persero) termasuk di dalam daftar nama BUMN yang dianggap tidak dapat diselamatkan.
Disebutkan, apabila PT Djakarta Lloyd (Persero) memiliki utang finansial sebesar Rp 6 triliun.
Jumlah yang cukup besar, sehingga Dahlan Iskan sampai berujar lebih memilih untuk
menyelamatkan Merpati Airlines ketimbang Djakarta Lloyd.
Beberapa Rekomendasi
Apapun pendekatan ataupun cara pandang terhadap BUMN, bahwa negara hendaknya
memiliki prinsip dan sikap. PT Djakarta Lloyd (Persero) didirikan di tahun 1950 dengan
semangat untuk mewujudkan ambisi menjadi negara maritim terbesar. Bangsa ini hendaknya
tidak mengabaikan faktanya di masa lalu sebagai bangsa pelaut. Begitu pula ketika pendirian
BUMN lain seperti PT Pelni (Persero). Disebutkan sebagai BUMN agar nantinya mampu untuk
menjadi bagian dari mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dan sekaligus bagian dari upaya
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Pada tulisan sebelumnya mengenai BUMN (klik di sini), ada pandangan yang digulirkan
dari wacana privitasisasi BUMN. Dengan alasan BUMN tidak efisien untuk dikelola pemerintah,
maka BUMN tersebut kemudian harus dilepaskan oleh pemerintah atau diswastanisasikan dan
sekaligus diprivatisasikan. Saya tidak menyalahkan wacana tersebut, tetapi wacana privatisasi
bukan dilandasi oleh upaya untuk menyelesaikan permasalahan di dalam BUMN itu sendiri.
Wacana privatisasi sebenarnya merupakan usulan ataupun rekomendasi dari pihak IMF. Bisa
dikatakan rekomendasi dari pihak asing yang sesungguhnya mencoba untuk mengatur negara
lain. Tentu akan menjadi pertanyaan, pihak IMF seolah berusaha menutup mata atas maraknya
praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di dalam pengelolaan BUMN. Selain privatisasi,
pihak IMF pula yang memberikan rekomendasi untuk menjual dan menutup BUMN. Faktanya,
PT Djakarta Lloyd (Persero) memiliki utang kurang lebih Rp 6 triliun. Apakah bisa
diselamatkan?
Jika yang dimaksudkan adalah penyalamatan secara finansial, mungkin akan dianggap
kesia-siaan dan berbiaya mahal. Hanya dengan memberikan suntikan dana ataupun proyekproyek
bisnis tidak akan banyak membantu. Sumber permasalahannya haruslah diselesaikan
terlebih dahulu, yaitu memangkas habis praktik KKN yang masih ada hingga saat ini. Hanya
dengan penyelesaian tersebut tidak menjamin pula apabila PT Djakarta Lloyd (Persero) akan
mampu bertahan dalam persaingan perusahaan jasa angkutan pelayaran lintas samudera.
Negara seharusnya memiliki prinsip apabila Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
di dunia. PT Djakarta Lloyd (Persero) bukan semata korporasi semata, melainkan membawa
simbol kemaritiman nasional. Tidak sekedar simbol, DL diharapkan pula akan mampu
mendorong perusahaan jasa angkutan serupa dari dalam negeri untuk tumbuh menjadi
perusahaan angkutan samudera kelas dunia. Singapura hanyalah negara kecil yang sama sekali
tidak memiliki lautan. Begitu pula negara-negara Eropa daratan. Tetapi mereka memiliki
perusahaan jasa angkutan lintas samudera kelas dunia. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi
kebijakan untuk mewujudkan bangsa dan negara sebagai negara maritim. Indonesia bukanlah
satu-satunya negara yang masih menganut asas pengelolaan BUMN. Masih ada nama seperti
Vietnam, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, bahkan China.
Tidak sedikit perusahaan berstatus milik asing yang beroperasi melayani jalur angkutan
laut di dalam negeri. Mereka cukup mudah menguasai jalur transportasi laut untuk pengiriman
angkutan kargo dan petikemas di jalur pelayaran domestik maupun luar negeri. Ironisnya,
kebutuhan angkutan laut di dalam negeri sendiri justru masih sangat tergantung kepada armada
milik asing. Dalam periode 2003-2007 misalnya, jumlah kapal asing yang disewa (charter) oleh
perusahaan pelayaran dalam negeri relatif menurun yaitu dari 2.447 unit tahun 2003 menjadi
tinggal 1.154 unit tahun 2007. Sedangkan jumlah keagenan kapal asing meningkat dari 6.629
unit pada tahun 2003 menjadi 7.227 unit tahun 2007.
Muncul semacam anggapan apabila menyewa (charter) armada angkutan laut milik asing
dianggap lebih murah ketimbang harus membangun dan mengembangkan industri kapal laut di
dalam negeri. Apalagi sebagian besar bank enggan menyalurkan kredit untuk membiayai
pengadaan kapal. Namun kalau pun membeli kapal dari luar negeri, meski dibebaskan dari bea
masuk (0%), diharuskan untuk membayar tunai di muka PPN sebesar 10% dan PPh 7,5%.
Memang pelunasan PPN dapat ditangguhkan, namun konsekuensinya, kapal atau perusahaan
yang bersangkutan tidak memperoleh surat ijin beroperasi. Perusahaan hanya mendapatkan surat
laut sementara yang harus diperpanjang setiap tiga bulan. Masalah lain misalnya, seperti
penggantian suku cadang yang tidak tersedia di dalam negeri, meskipun bea masuk sudah tidak
dikenakan, harus menempuh prosedur pembeliannya yang memakan waktu lama mulai dari
permohonan ijin kepada Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan sampai Bea Cukai.
Akibat dari iklim usaha yang jauh dari kata „kondusif‟ tersebut menyebabkan jalur
pelayaran di dalam negeri didominasi oleh armada asing. Pada tahun 2005 saja, armada asing
mendominasi hingga 60% dari total angkutan laut di dalam negeri. Dalam hal ini, tidak hanya
Djakarta Lloyd yang harus terdesak dalam persaingan, melainkan industri angkutan serupa milik
swasta milik Indonesia. Ironisnya, Djakarta Lloyd sendiri justru menjadi agensi bagi penyewaan
kapal-kapal kargo atau petikemas milik perusahaan asing. Tidak berbeda pula nasibnya dengan
PT Pelni (Persero) yang menjadi agensi kapal-kapal pesiar ketimbang harus membeli kapal
pesiar.
Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan pemerintah lebih suka menuruti
rekomendasi dari pihak asing atas BUMN. Solusi seperti privatisasi, penjualan, maupun
penutupan BUMN dianggap paling mudah. Tentunya pertimbangan nasionalisme sebagai bangsa
maritim harus disingkirkan. http://leo4kusuma.blogspot.co.id/2012/02/selamatkan-djakarta-lloyd.html
3. Kilasan Artikel perubahan mengenai PT. Lloyd
Djakarta Lloyd (DL); pada tahun 1963 kapal yang dioperasikan oleh DL dan dicharter
oleh eksportir untuk mengangkut kopra ekspor dari Indonesia ke Jepang. Dalam perjalanan balik
ke Tanjung Priok kapal mendapat muatan tepung terigu dalam kantong; dalam pengangkutan itu
kapal dioperasikan oleh PT. Affan Raya Lines yang berdomisili di Palembang.
Tercatat bahwa kapal, setelah menyelesaikan pembongkaran kopra, raung kapal tidak
dibersihkan sebagaimana mestinya dan muatan impor ke Indonesia tersebut sudah dimuat ke
kapal saat ruang muatan/palka masih belum steril dari bau (odour) kopra.
Akibatnya, terigu ditolak oleh importirnya karena seluruhnya berbau tengik; importir pun
mengajukan claim kepada PT. Affan Raya Lines yang mengoperasikan kapal. PT. Affan Raya
Line menyatakan tidak mampu membayar claim sebesar itu, sekaipun harus menjual semua aset
perusahaan; maka hutang yang default itu diambil alih oleh Pemerintah RI.
Sebagaimana kita ketahui sekitar tahun enampuluhan Indonesia adalah eksportir utama
kopra, bersaing dengan Pilipina. Mungkin karena begitu gencarnya ekspor kopra ke Jepang,
terdapat suatu bentuk eforia di mana agen atau awak kapal menjadi lengah dan tidak mengontrol
pembersihan ruang kapal secara benar. Palka belum 100% steril dari sisa bau (odour) muatan
kopra, sudah dimuati dengan tepung terigu dalam kantong dengan akibat semua terigu menjadi
tengik dan ditolak oleh importirnya. Siapa yang mau membeli tepung terigu berbau tengik,
kecuali perusahaan yang memproduksi makanan ternak, dengan harga sudah sangat jatuh?
Pemerintah RI yang awal rahun 1960 menerima banyak sekali pampasan perang Jepang,
merasa perlu berbaik-baik hati dengan Pemerintah Jepang. Untuk itu, hutang claim PT. Affan
Raya Line (operator kapal) sebesar USD.600.000.- yang dinyatakan default, diambil alih oleh
Pemerintah. Hutang dibayar oleh Pemerintah RI dengan kompensasi PT. Affan Raya Lines
diakuisisi dan dimasukkan ke dalam PN. Djakarta Lloyd (DL), yang merupakan perusahaan
dengan modal negara.
Entah bagaimana prosedur akuisisi diterapkan, tetapi yang tampak di permukaan adalah
tidak adanya berita acara pengambilan aset perusahaan untuk mengganti hutang USD.600.000.-
itu (apa betul Affan Raya tidak mempunyai total aset sebesar itu). Yang tampak justru masuknya
orang-orang (pegawai/manajer) Affan Raya ke dalam DL sehingga DL tampak berjejal-jejal
dipenuhi eks karyawan Affan Raya.
Direksi DL juga tampaknya tidak berani menyampaikan interupsi untuk melakukan
seleksi atas karyawan/manajer bermutu yang layak diberi peran di DL. Ditambah lagi saat itu,
akhir tahun 1963, beberapa mahasiswa Indonesia (populer disebut “mahasiswa pampasan perang
Jepang” sudah menyelesaikan studinya di Jepang. Merekapun dimasukkan ke dalam jajaran
pimpinan DL tanpa meninjau “track record” mereka dalam urusan usaha pelayaran niaga
(business shipping).
Mulai sejak saat itu ihwal keterpurukan Djakarta Lloyd mulai menggejala di mana sekitar
awal tahun 1970 perusahaan menggalakkan upaya pencarian muatan ekspor. Maka untuk itu
direkrutlah anak-anak muda energik, dilengkapi kendaraan scooter Vespa untuk melakukan
cargo canvassing dari para eksportir terutama PT-PT Niaga (dan PTPN, ditambah eksportir
swasta nasional dan asing). Setiap pagi setelah absen di kantor dan mendapat instruksi dari
pimpinan, mereka menyebar ke kantor-kantor eksportir mencari muatan outward cargo.
Celakanya, komitmen pengapalan barang ekspor yang mereka peroleh dari para eksportir
tersebut, tidak diserahkan kepada atasan mereka di bagian Cargo Canvassing (sekarang sebutan
itu tidak digunakan lagi karena dianggap vulgar; sebagai gantinya bagian Cargo Canvassing
disebut bagian Marketing Jasa Pelayaran). Sore hari pada waktu pulang ke kantor, mereka
mampir dulu ke kantor Maersk Line, American President Line dan lain-lain untuk menyerahkan
Shipping Instruction (SI) yang mereka peroleh hari itu, untuk …… mengutip uang lelah (baca:
komisi).
Para cargo canvassers tersebut tidak merasa perlu menyetorkan shipping instuctions
kepada atasannya karena Djakarta Lloyd justru meminta komisi dari eksporitr yang mengapalkan
muatannya untuk diangkut dengan kapal Djakarta Lloyd sementara perusahaan swasta asing (dan
nasional), sesuai perilaku dagang konvensional, memberikan komisi kepada pelanggan yang
menyerahkan pengangkutan barang ekspornya kepada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Perilaku buruk tersebut masih ditambah lagi dengan penerapan manajemen perusahaan
yang tidak pernah mengoreksi/mempunish kesalahan anak buah (termasuk canvasser yang
menyerahkan SI kepada perusahaan lain padahal mereka beroperasi dengan biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaannya sendiri).
Sekarang sudah menjadi kenyataan: PT. Djakarta Lloyd (Persero) sudah menjadi
perusahaan pelayaran gurem dengan kapal mini berdaya angkut 200 – 400 TEUs sementara
perusahaan pelayaran tingkat dunia mengoperasikan kapal berdaya angkut 15.200 TEUs (alias
sekitar 300.000 tonnes muatan sekali jalan). Apakah Pemerintah dan DPR mempunyai nyali
untuk menghidupkan kembali perusahaan, yang sudah beberapa kali mengumumkan kepada
karyawannya ketidakmampuan membayar gaji tersebut? Berapa uang rakyat akan dianggarkan
untuk memfungsikan kembali mayat hidup itu. Sebagai mantan karyawan PN. Djakarta Lloyd
(mengambil pensiun tunai pada tahun 1973) saya merasa ini bukan prioritas sekarang, lebih baik
dananya untuk memaksimalkan produksi beras saja dulu.
Sementara itu, pada tahun 1972, penulis artikel ini sebagai pegawai DL yang sudah
merasa sesak napas demgan perilaku operasi dan manajemen yang tidak sesuai pakem tersebut,
mendengar rumor bahwa direksi DL akan mengangkat tenaga-tenaga sarjana. Mendengar info
itu, penulis yang sudah sarjana sejak tahun 1965, merasa berbunga-bunga karena yakin akan
memperoleh peningkatan peran tetapi ternyata tidak. Pada saat itu, kebetulan sahabatku,
Mohamad Hasan Lamazie, (alm) seorang kapten Angkatan Darat diangkat sebagai direktur
utama PN. Tundabara (belakangan menjadi PT. (Persero) Bahtera Adhi Guna). Track record pak
Lamazie di bidang maritim/shipping memang kurang mantap tetapi beliau kuliah di AMI
(Akademi Maritim Indonesia) bersama saya.
Maka dengan mantap aku segera menemuinya untuk menyampaikan lamaran kerja tetapi
dari pembicaraan yang panjang lebar, kusimpulkan bahwa lamaranku tidak diterima. Kalimat
krucial yang kucatat adalah “apa kamu sudah pikirkan masak-masak untuk kerja di sini”. Maka
sayapun melayangkan surat lamaran ke perusahaan lain dan mendapat tempat sebagai Import
Manager pada PT. Australia-Indonesian Milk Industries (PT. Indomilk) yang ternyata merupakan
jebakan bagi saya (untuk dijebloskan ke penjara).
Kalau saya kurang mahir dalam pengurusan impor terutama prosedur kepabeanan, saya
akan sudah masuk penjara untuk hal-hal yang kuketahui saja tidak, apa lagi mengerjakannya.
Saya akui bahwa nasib baik dan lindungan Tuhan YME sangat berperan di dalam
kebebasanku dari manipulasi bea masuk yang terjadi di perusahaan tersebut (Agustus 1973 –
Maret 1975). Semua dokumen yang diminta oleh majelis Pengadilan Negeri Jakarta UtaraTimur)
yang mengadili manipulasi itu, 22 berkas import documents = 66 customs documents
dengan nilai manipulasi (bea masuk tidak dibayarkan kepada Kas Negara) senilai
Rp.445.000.000.- (tahun 1973 – 1975) saya temukan untuk diserahkan kepada sidang masjelis,
maka pemeriksaan atas diri saya pun dihentikan (ada kisahnya tersendiri, silahkan tunggu).
http://konsultanmaritim.blogspot.co.id/2010/09/kisah-keterpurukan-djakarta-lloyd-2.html
4. Kilasan Artikel perubahan mengenai PT. Lloyd
Liputan6.com, Jakarta – Setelah mati suri selama 15 tahun, PT Djakarta Lloyd (Persero)
akhirnya dapat menjalankan kembali bisnis pengoperasian kapal laut. Kementerian Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) mentargetkan tahun ini perusahaan sudah dapat mencetak laba.
Menteri BUMN Dahlan Iskan menjelaskan, perjuangan yang dilakukan oleh manajemen
Djakarta Lloyd patut diacungi jempol. Menurut Dahlan, Direktur Utama Djakarta Lloyd, Arham
Sakir Torik, patut mendapat apresiasi karena berhasil membangkitkan kembali perusahaan yang
telah terpuruk selama bertahun-tahun.
“Kami menghargai Djakarta Lloyd yang baru saja keluar dari keterpurukannya. Djakarta
Lloyd sudah lebih dari 15 tahun kesulitan luar biasa. Tapi sekarang secara keuangan sudah sehat
lagi, secara perusahaan harus mulai lari lagi,” ungkapnya saat ditemui di Kantor Pusat PT
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Jakarta, Kamis (26/6/2014).
Menurut Dahlan, salah satu langkah besar yang mampu dilalui oleh Djakarta Lloyd
adalah melakukan restrukturisasi utang dengan nilai Rp 1,3 triliun. Utang tersebut saat ini sudah
berhasil dikonversi dalam bentuk saham.
Dalam restrukturisasi tersebut, kreditur Djakarta Lloyd mendapat jatah saham
perusahaan. Namun, Djakarta Lloyd tetap membayar utang tersebut yang dimulai lima tahun
nanti dengan jangka waktu selama 18 tahun.
Untuk melanjutkan bisnis pengoperasian kapal, saat ini Djakarta Lloyd sudah menjadi
kepercayaan PT PLN (Persero) untuk menjadi perusahaan pengangkut dan penyalur batu bara di
beberapa pembangkit di wilayah Indonesia.
“Sekarang misalnya untuk operasional perusahaan sudah berjalan, tinggal gaji karyawan
selama ini menunggu penjualan aset gedung Djakarta Lloyd,” jelas Dahlan.
Kementerian BUMN sendiri mentargetkan pada laporan keuangan 2014 ini perusahaan
sudah dapat mencetak laba.
Namun, Dahlan melanjutkan, terdapat masalah lama yakni empat kapal Caraka yang dulu
dibeli oleh pemerintah dan diberikan ke Djakarta Lloyd. Saat ini, aset tersebut belum bisa
dibekukan karena belum dipisahkan sebagai penyertaan pemerintah kepada Djakarta Lloyd.
“Nah, ini yang membebani perusahaan karena kapal ini tidak bisa digunakan lagi, sudah tidak
bisa dipakai tetapi harus dirawat kemudian nilainya harus dibukukan,” pungkas Dahlan.
http://bisnis.liputan6.com/read/2068992/setelah-mati-suri-15-tahun-djakarta-lloyd-mampu-bangkit